Waspadai Bahaya Racun Timbel Cat Tembok di Rumah Anda
Selain bensin bertimbel sebagai sumber terbesar keberadaan timbel di Indonesia. Cat tembok dapat menjadi ancaman kedua terbesar terhadap kesehatan anak dan anda sendiri. Dan ancaman itu selama ini tidak diketahui oleh kita bersama. Tertutupi oleh warna-warni cat yang mengkamuflase bahaya racun timbel.
Hasil penelitian kandungan timbel dalam cat tembok yang dilakukan di beberapa negara asia (Cina, India, Malaysia, Singapura ) diketahui positif mengandung logam beracun timbel. 66 persen sampel cat tembok yang diperoleh dari Cina, India dan Malaysia mengandung timbel 5000 ppm (part per millions) atau 0.5%. Dan 78 % mengandung timbel lebih dari 600 ppm.
Di antara negara-negara asia tersebut, sampel cat tembok yang diperoleh dari Singapura bisa dikatakan bersih dari timbel. Dimana persentase kandungan timbel ditemukan 0% untuk 5000 ppm dan 9% untuk 600 ppm.
Sangat mudah mengetahui cat tembok rumah anda mengandung ada tidaknya timbel. Cat tembok yang mudah luntur dan terkelupas adalah indikasi adanya timbel. Timbel dalam cat tembok dalam bentuk oksidan (PbO) digunakan sebagai pelunak larutan cat.
Walaupun penggunaan timbel oksidan telah lama dipakai sebagai pelunak larutan cat tembok. Ironisnya,sampai saat ini di Indonesia belum ada standarisasi aturan baku berapa banyak seharusnya kandungan timbel oksidan yang diperbolehkan. Negara Singapura membatasi kandungan timbel dalam cat rumah atau tembok hanya 600 ppm. Sedangkan US HUD (United States House Urban Development) mensyaratkan kandungan timbel dalam cat tembok tidak boleh melebihi 5000 ppm.
Oleh karena itu, segera dicermati baik-baik ketika ingin membeli cat tembok. Apakah mengandung timbel atau tidak. Perhatikan label komposisi unsur-unsur logam yang melekat di kaleng cat sudah atau belum melebihi ambang batas. Segera singkirkan serpihan cat yang terkelupas, jangan biarkan anak-anak menyentuhnya.
Sumber: Clark, C.S dkk. 2006. The lead content of currently available new residential paint in several Asian countries. Environmental Research (102) : 9 – 12.
Photo by Ehimetalor Akhere Unuabona on Unsplash
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.