Ketetapan Menteri ESDM Bahlil Lahaladia yang menghentikan pasokan BBM SPBU swasta dari pasokan impor BBM berkualitas adalah sesat. Sesat karena menguntungkan kepentingan mafia MIGAS yang menghendaki dominasi impor (single supplier) dan pengadaan BBM nasional dalam satu genggaman. Dampaknya maka masyarakat tidak mendapatkan BBM dengan kualitas yang memadai dan dengan harga terjangkau, kerusakan kendaraan, peningkatan pencemaran udara, hambatan pertumbuhan ekonomi dari sektor otomotif dan MIGAS. Hal ini indikasi menguatnya kartel BBM sekalipun Petral sudah dilikuidasi pada 2015.
oo0oo
Adalah sesat penetapan impor BBM hanya boleh dilakukan oleh Pertamina sebagai jalur satu pintu. Ketatapan tanpa opsi impor oleh pihak lain termasuk pengelola SPBU swasta, berpotensi menghilangkan persaingan sehat dan merugikan konsumen untuk mendapatkan harga yang lebih bersaing dan dengan kualitas yang lebih baik.
Ketetapan ini juga menghancurkan daya saing produsen BBM dengan kualitas yang lebih baik. Dengan hilangnya peluang masyarakat untuk mendapatkan BBM dengan kualitas yang lebih baik, maka akan memicu tingginya pencemaran udara dari sumber kendaraan bermotor; dampak langsung atas penggunaan BBM berkualitas rendah. Sebagaimana diketahui, bahwa selama ini Pertamina masih memasok BBM dengan kualitas di bawah standard atau di bawah spesifikasi BBM yang memenuhi persyaratan teknologi kendaraan yang saat ini diadopsi berdasarkan peraturan perundangan di Republik Indonesia. Dari 16 parameter bensin, parameter RON-nya masih deficit (90 dari seharusnya minimal 91) dan Sulfur content terlalu tinggi (200 ppm dari seharusnya maks 50 ppm. Bahkan parameter Biosolar CN-nye defisiti (48 dari seharusnya min 51) dan Sulfur conten amat sangat terlalu tinggi (lebih dari 1400 ppm dari seharusnya 50 ppm).
Bahwa dalam rangka mengendalikan pencemaran udara dari sector transportasi, maka pemerintah melalui Menteri Lingkungan Hidup menetapkan regulasi PermenLHK No P20/2017 tentang Ambang Batas Gas Buang Emisi Kendaraan Bermotor (mengikuti standard emisi kendaraan berstandard Euro4/IV). Peraturan ini ditetapkan merujuk pada PP No 22/2021 tentang Pedoman Penyelenggaraaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai turunan amanat UU No 32/2009 tentang Perlundungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, regulasi ini juga merupakan amanat PP No 55/2012 tentang Standard Kendaraan sebagai turunan amanat UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Regulasi ini mengamanatkan untuk menetapkan standard kendaraan bermotor yang lebih baik seseuai dengan perkembangan teknologi kendaraan; dalam hal ini standard emisi kendaraan.
Berdasarkan perkembangan teknologi dan kemampuan masyarakat Indonesia, maka ditetapkan PermenLHK tersebut di atas yang mewajibkan kendaraan berstandard Euro4/IV mulai Oktober 2018. Sementara itu, mulai 2014 negara-negara lain sudah mulai mengadopsi standard Euro6/VI yang memiliki standard emisi jauh lebih ketat. Namun dengan pertimbangan kemampuan daya beli masyarakat, maka regulasi tersebut menetapkan standard Euro4/IV, dengan catatan pada 2024/2025 bergeser ke standard yang lebih ketat yaitu Euro6/VI.
Namun demikian semanjak regulasi standard emisi kendaraan tersebut ditetapkan (10 Maret 2017), tidak ada respon positif dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Menteri ESDM), di mana seharusnya melalui Dirjen Minyak dan Gas Bumi (Dirjen MIGAS) menetapkan spesifikasi baru atas BBM yang boleh diproduksi dan diedarkan di wilayah Republik Indonesia. Bahkan Menteri ESDM membiarkan Dirjen MIGAS melakukan pembangkangan hukum atas perintah peraturan perundangan di atas untuk menindaklanjuti kebutuhan pelaksaan kebijakan guna memperbaiki kualitas udara, membuka ruang fiskal baru melalui kehadiran teknologi kendaraan berteknologi baru dan upaya men-trigger pertumbuhan ekonomi melalui adopsi teknologi kendaraan tipe baru serta mempertahankan daya saing industri otomotif nasional dengan produksi kendaraan tipe baru yang diminati baik secara nasional maupun global.
Akibatnya, produksi industri otomotif nasional stagnan, tidak berkembang karena ketiadaan BBM yang memenuhi ketentuan teknologi kendaraan berstandard Euro4/IV. Hadirnya di antara SPBU milik swasta yang menyediaan BBM dengan spesifikasi yang memenuhi kebutuhan teknologi kendaraan Euro5/V dan dengan harga yang wajar, adalah oasis bagi pemilik kendaraan bermotor berstandard Euro4/IV. Namun sayangnya oasis tersebut dihancurkan oleh Menteri ESDM dan Dirjen MIGAS atas nama demi menjaga keseimbangan neraca komoditas MIGAS nasional, penyeragaman spesifikasi BBM nasional dan memposisikan Pertamina sebagai pemasok satu-satunya bagi distribusi BBM nasional.
Ketetapan Menteri ESDM jelas sesat, mengingat
1. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subiyanto, maka kini saatnya melakukan deregulasi guna menggairahkan pertumbuhan di segala bidang termasuk sektor produksi dan pemasaran BBM. Langkah Menteri ESDM dalam mengetatkan regulasi sehingga mengurangi ruang gerak industri sector MIGAS sesat karena membangkang target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan oleh Presiden. Berkurangnya ruang gerak industri ini akan menurunkan produktivitas yang berujung pada penurunan sumbangan sector MIGAS pada GDP.
2. Ketetapan tersebut menabalkan single supplier (kartel) atas produk BBM yang berdampak pada kehancuran persaingan sehat dalam perdagangan BBM sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan atas keberadaan BBM dengan kualitas terbaik dan dengan harga terjangkau. Saat ini impor BBM masih 70% dari total national demand (73 juta KL, 2024) alangkah baiknya apabila dapat dipenuhi oleh beberapa pihak dengan BBM berkualitas tinggi, ketimbang didominasi oleh Pertamina yang selama ini justru menghadirkan BBM dengan kualitas rendah.
3. Ketetapan untuk mengikuti spesifikasi BBM yang lebih rendah sebagaimana yang diedarkan oleh PERTAMINA adalah langkah mundur (set back) dan memicu terciptanya bad governance, tata kelola pemerintahan yang buruk.
4. Menghambat pertumbuhan ekonomi sektor otomotif dan MIGAS, di mana sesuai dengan tuntutan perlindungan lingkungan hidup dan iklim global, saat ini preferensi pasar otomotif adalah tertuju pada kendaraan rendah emisi dan hemat energi. Set back pada penggunaan BBM dengan kualitas lebih rendah menghambat penerapan kendaraan rendah emisi dan hemat bahan bakar sebagaimana halnya kendaraan berstandard Euro4/IV yang diadopsi saat ini.
5. Memposisikan untuk kembali menggunakan BBM berkualitas rendah sehingga akan memperparah pencemaran udara dan emisi GRK dari kendaraan bermotor.
Rekomendasi:
1. Hentikan ketetapan Menteri ESDM dalam memberantas peran swasta pada impor BBM bersih demi terciptanya persaingan usaha yang sehat.
2. Revisi Ketetapan Spesifikasi BBM yang diterbitkan oleh Dirjen MIGAS mengingat ketetapan yang ada sudah out of date dan membangkang terhadap peraturan perundangan di atasnya.
3. Segera lakukan shifting impor BBM yang dilakukan oleh importer atas order dari PERTAMINA; yaitu shifting dari impor BBM dengan kualitas busuk (rendah) ke impor BBM dengan kualitas tinggi yang mampu meng-up grade kualitas BBM produksi domestik oleh PERTAMINA.
4. Presiden Prabowo Subiyanto agar merestrukturisasi HPP BBM sehingga masyarakat mendapatkan BBM dengan kualitas baik dan harga terjangkau serta pemerintah tidak terbebani subsidi BBM. Sebagai catatan, HPP BBM bersubsidi terlampau tinggi karena mengandung nilai mark up oleh oil trader/importer. Fakta HPP BBM sekelas Pertalite di pasar regional adalah Rp 7.950/L sementara Pertamina mematok dengan HPP Rp 11.700/L sehingga pemerintah harus mensubsidi Rp 1.700/L (23 Maret 2025).
5. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) agar segera memeriksa Menteri ESDM Bahlil Lahaladia dan Dirjen MIGAS Laode Sulaeman atas dugaan mengarahkan terciptanya single supplier pada indikasi praktik kartel pengadaan BBM nasional.
Jakarta, 19 September 2025
Ahmad Safrudin
Direktur Eksekutif
0816897959
Nara hubung: Alfred Sitorus, 0852-1023-4441