Press Statement
Penolakan Base Fuel Pertamina: Bukan Soal Ethanol Tetapi Kualitas
_Produsen BBM/SPBU Swasta ramai-ramai menolak base fuel yang diimpor oleh Pertamina, sekalipun pada 19 September mereka telah sepakat untuk membeli untuk base fuel produk BBM yang mereka pasarkan di Indonesia. Mengapa berubah dan melawan terhadap keputusan Menteri ESDM? Benarkah terkait soal kandungan ethanol? Atau soal lain terutama kualitas yang tidak memenuhi spesifikasi minimal yang dipersyaratkan untuk memproduksi BBM dengan spesifikasi tertentu?_
oo0oo
Ethanol, umumnya digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari kepentingan medis, makanan, minuman maupun untuk bahan bakar atau energi. Pada konteks pemanfaatan ethanol untuk bahan bakar, maka ethanol memerlukan proses khusus agar ethanol tersebut mencapai kadar yang dipersyaratkan sebagai bahan bakar (Fuel Grade Ethanol/FGE). Ethanol yang memenuhi persyaratan sebagai campuran bahan bakar (FGE) harus memiliki kemurnian 99%. Untuk menghasilkan FGE, maka memerlukan proses pemurnian untuk menghilangkan kandungan air pada campuran etanol. Proses distilasi atas campuran etanol-air menggunakan entrainer etil asetat dapat digunakan untuk meningkatkan kadar etanol hingga mencapai FGE.
Pemanfaatan ethanol (FGE) adalah dengan mencampurkannya (blending, oplos) pada bensin guna mendongkrak angka oktan atau RON (Research Octane Number) bensin tersebut (base fuel) agar memenuhi persyaratan spesifikasi untuk digunakan sebagai bahan bakar kendaraan. Di sini peran ethanol sebagai octane enhancer.
Pemanfaatan ethanol sebagai octane enhancer bensin ini tidak berdampak negatif atas kinerja mesin kendaraan. Justru mampu meningkatkan efisiensi pembakaran pada ruang bakar mesin kendaraan, sehingga bisa menghemat energi sekaligus menekan emisi gas buang kendaraan, baik emisi pencemaran udara (PM10, PM2.5, HC, CO, SOx, NOx) maupun emisi Gas Rumah Kacar (CO2).
Karena sejak 2006 hampir semua varian kendaraan sudah diproduksi dengan mengantisipasi penggunaan biofuel termasuk ethanol. Kalau sebelum 2006 teknologi kendaraan masih menggunakan sealant, gasket, valve dll yang bisa lumer oleh pemakaian biofuel; maka kini (sejak 2006) berbagai parts (suku cadang) kendaraan tersebut sudah dimodifikasi sehingga tidak lumer lagi terkait pemanfaataan ethanol ini.
Namun yang kita khawatirkan dan mungkin saja termasuk yang dikhawatirkan oleh para produsen BBM/SPBU swasta terkait ethanol adalah bahwa ethanol tersebut telah terlanjur di-blend (dicampur/dioplos) pada bensin yang oleh produsen BBM/SPBU swasta diperlakukan sebagai base fuel; bahan dasar untuk memproduksi BBM dengan spesifikasi tertentu.
Pada konteks teknis meracik BBM dengan spesifikasi tertentu menggunakan raw material yang bukan murni sebagai base fuel, adalah sulit. Keberadaan ethanol pada base fuel telah mengaburkan sifat kimia dan fisika base fuel sebagai raw material utama pada proses produksi BBM dengan spesifikasi tertentu. Menjadi sulit untuk meracik BBM dengan spesifikasi tertentu apabila base fuel nya sudah tidak standard alias sudah "dikotori" oleh material tertentu seperti ethanol. Sebagai octane enhancer, idealnya proses pencampuran ethanol sebagai pendongkrak angka octane dilakukan sebagai satu kesatuan pada proses produksi BBM dengan spesifikasi terntentu yang diinginkan; terutama untuk BBM berkualitas tinggi.
Kesulitan teknis ini akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi, apalagi prosentase ethanol pada bensin tersebut juga memiliki konsekuensi peningkatan biaya. Sehingga secara bisnis ini sangat berpengaruh pada HPP dan selling pricing, di mana harga jual cenderung menjadi lebih mahal. Sementara harga jual sangat sensitif pada daya beli masyarakat.
Penolakan base fuel (BBM dasar) Pertamina oleh Produsen BBM/SPBU swasta ini juga mengindikasikan penolakan atas buruknya spesifikasi base fuel secara umum dengan berbagai parameternya; seperti kadar belerang, ash forming, octane number, cetane number (untuk solar) dll. Ini tidak lepas dari preseden setelah lebih dari 20 tahun Pertamina bertahan hanya mengimpor base fuel dengan kualitas rendah. Sehingga tidak mampu memproduksi dan memasarkan BBM dengan spesifikasi yang sesuai dengan kebutuhan teknologi kendaraan bermotor yang saat ini diadopsi oleh Indonesia berdasarkan peraturan perundangan.
Jakarta, 3 Oktober 2025
Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif (0816-897-959)
Contact Person: Alfred Sitorus (0852-1023-4441)